MENELISIK UJI DIAGNOSTIK COVID-19
Oleh dr. Rizki Widya Nur dari RSUP Dr.Kariadi
Penggunaan uji diagnostik dalam skala besar telah menjadi landasan strategi pengendalian yang berhasil dalam mengatasi pandemi COVID-19 yang saat ini terjadi. Korea selatan secara dramatis dapat mengurangi angka kejadian dengan melakukan uji diagnostik secara massal. Uji diagnostik memang berperan penting dalam penangganan COVID-19 dimana dapat mempercepat langkah dari tindakan pengendalian wabah. Beberapa bulan terakhir terdapat kemajuan yang pesat dalam upaya pengembangan alat diagnostik untuk COVID-19, banyak yang berlomba untuk mengembangkan teknik laboratorium yang lebih efisien, efektif secara biaya dan dapat digunakan dalam jumlah massal. Namun, kebutuhan untuk diagnosis secara akurat dan cepat masih menjadi permasalahan global.
Metode yang saat ini menjadi gold standard atau standar utama adalah real time polymerase chain reaction (RT-PCR), pemeriksaan mengunakan sampel berupa swab yang diambil dari hidung atau tenggorokan. Sebelumnya pemeriksaan ini diasumsikan bahwa virus dapat dideteksi secara langsung setelah timbulnya gejala, tapi terdapat penelitian yang membuktikan bahwa RT-PCR yang ada saat ini tidak dapat mendeteksi COVID-19 pada tahap awal infeksi, dan ada laporan yang memberikan negatif palsu. Alasan hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh ekstraksi yang tidak tepat atau sel yang tidak dapat terdeteksi. Alasan lainnya adalah karena pengambilan sampel tidak dilakukan dengan benar, dimana virus mungkin tidak berada di tempat yang sama untuk semua orang dan terletak di lokasiyang sulit dijangkau.
Pengunaan CT-Scan diklaim dapat secara efektif mendeteksi infeksi COVID-19 dalam kasus RT-PCR negative-palsu. Beberapa penelitian retrospektif menunjukkan bahwa CT scan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi (86-98%). Gambaran pencitraan COVID-19 beragam dan tergantung pada tahap infeksinya. Penelitian menyebutkan CT-Scan normal (56%) pada tahap awal penyakit (0-2 hari) dan kemudian terjadi keterlibatan paru maksimal pada sekitar 10 hari setelah timbulnya gejala. Kelemahan utama menggunakan CT-Scan untuk COVID-19 adalah bahwa spesifikasi rendah (25%) karena gambaran pencitraannya tumpang tindih dengan pneumonia virus lainnya. Selain itu pemeriksaan ini mahal dan membutuhkan keahlian teknis.
Uji diagnostik lain yang mana digunakan untuk memenuhi kebutuhan medis dan kesehatan masyarakat saat ini adalah rapid test. Rapid test untuk COVID-19 ini hanya memakan waktu sekitar 10-30 menit untuk memberikan hasil. Lebih cepat dibandingkan dengan tes molekuler yang membutuhkan sekitar empat jam, atau lebih jika sampel harus dibawa ke laboratorium yang jauh. Ada dua jenis tes cepat COVID-19 yang saat ini digunakan : tes deteksi antigen yang mendeteksi komponen virus selama infeksi dalam sampel seperti sekresi nasofaring dan tes antibodi yang mendeteksi antibodi yang muncul dalam serum penderita sebagai bagian dari respon imun terhadap virus. Tes deteksi antibodi memiliki kegunaan terbatas untuk deteksi dinikarenaantibodi pasien baru akan positif dalam10 hari atau lebih setelah timbulnya gejala. Sedangkan, tes antigen belum tentu tersedia karena tidak semua distributor menjual perangkat ini ke semua negara.
Meskipun begitu, terdapat kemajuan signifikan dalam pengembangan tes diagnostik ini terlepas dari semua pertanyaan dan tantangan yang tersisa. Upaya global sedang berlangsung, dimana semua bekerja dan berkomunikasi untuk memfasilitasi pengembangan uji diagnostik baru dan pengiriman alat uji ke seluruh dunia. Teknologi baru seperti diagnosis berbasis Clustered Regularly Interspersed Short Palindromic Repeats (CRISPR) juga sedangkan dikembangkan untuk rapid test. Pengujian semacam itu telah meningkat secara signifikan. Terbukti dengan banyaknya artikel jurnal terkait teknik diagnostik COVID-19.
Sambil menunggu para peneliti yang bekerja keras untuk terus mengembangkannya, masyarakat diharapkan dapat mematuhi semua anjuran pencegahan demi mengatasi bersama wabah penyakit yang sedang melanda dunia ini.
Beri Komentar